Surakarta, Yustitiamedia.com — Advokat terkemuka asal Malang, Dwi Indro Tito Cahyono, S.H., M.M., resmi dikukuhkan sebagai Kanjeng Raden Arya (KRA) dalam prosesi kekancingan (kenaikan gelar kebangsawanan) di Keraton Surakarta Hadiningrat, Sabtu (14/6/2025).
Prosesi ini mer pengangkatan resmi yang dilakukan Lembaga Dewan Adat Keraton, sebagai bentuk penghormatan atas komitmen dan kiprahnya dalam pelestarian budaya Jawa.
Gelar KRA yang kini disandang Sam Tito merupakan peningkatan dari gelar sebelumnya, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT)—dua tingkat lebih tinggi dalam tatanan kebangsawanan Keraton Surakarta. Ia termasuk dalam 26 orang yang dikukuhkan sebagai Sentono, sebutan untuk para tokoh pengageng atau pembesar keraton yang memiliki peran strategis dalam menjaga dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya luhur.
“Gelar ini adalah bentuk pengakuan dari keraton atas kepedulian saya terhadap pelestarian budaya. Saya berharap ini menjadi penyemangat tidak hanya bagi saya pribadi, tetapi juga bagi generasi muda agar tidak melupakan akar budaya bangsa,” ujar Sam Tito usai acara di ruang Kasentanan, tempat khusus bagi para Sentono di lingkungan keraton.
Sementara menurut salah satu tokoh abdi dalem, KRA M. Nuh Rekso Pradotonagoro, S.H., M.H., yang turut menjelaskan struktur dan filosofi di balik pemberian gelar ini.
Menurutnya, pelantikan di Keraton Surakarta terbagi menjadi dua kategori besar:
- Abdi Dalem – Kalangan pelayan budaya dan spiritual yang terdiri dari jenjang Kilurah, Ngabeyi, Raden Tumenggung, hingga puncaknya Kanjeng Raden Arya Tumenggung.
- Sentono – Kelompok pembesar atau pengageng keraton yang berpangkat mulai dari Kanjeng Raden Arya (KRA) hingga Kanjeng Pangeran (KP), dengan posisi tertinggi hanya diberikan kepada tokoh yang terbukti memiliki kontribusi luar biasa dalam pengabdian budaya.
“Sentono itu seperti perwira dalam militer—kalangan kehormatan yang memikul tanggung jawab menjaga nilai-nilai adat, budaya, dan kehormatan keraton secara formal,” jelas KRA Nuh. Ia menegaskan bahwa gelar ini bukan sekadar simbolik, tetapi memiliki tanggung jawab moral dan budaya yang melekat.
Yang membuat gelar ini lebih bermakna adalah legalitasnya. Prosesi pelantikan dilakukan langsung oleh Hangabehi (putra laki-laki tertua Sinuhun Paku Buwono XIII), sementara sertifikat gelarnya diterbitkan oleh Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta Hadiningrat—sebuah lembaga berbadan hukum resmi di bawah pengakuan Kementerian Hukum dan HAM RI.
Ketua lembaga ini, Gusti Kanjeng Ratu D.R.A. Kusmurtiawan Sari, M.Pd., memastikan bahwa seluruh prosesi telah dilakukan sesuai kaidah adat dan ketentuan hukum yang berlaku.
“Dengan gelar ini, Pak Tito memiliki hak untuk secara aktif mengambil peran dalam pelestarian budaya keraton secara formal. Ini bukan gelar kehormatan sembarangan, tapi juga amanah untuk menjaga warisan budaya bangsa,” imbuh KRA Nuh.
Sam Tito, yang juga dikenal sebagai Ketua DPC AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) Malang Raya dan Presiden Direktur Kantor Hukum Yustitia Indonesia, menegaskan bahwa penghargaan ini akan menjadi pijakan untuk lebih aktif dalam mendorong regenerasi budaya, terutama di kalangan muda.
“Budaya bukan sekadar simbol masa lalu. Ia harus hidup di masa kini dan masa depan. Saya berharap lebih banyak anak muda yang bangga dengan budaya leluhurnya dan menjadikannya sebagai jati diri,” pungkasnya.
Dengan pengukuhan ini, Kanjeng Raden Arya Dwi Indro Tito Pradotonagoro tidak hanya diakui sebagai tokoh hukum nasional, tetapi juga sebagai figur budaya yang memadukan nilai tradisi dengan profesionalisme modern—menghubungkan kejayaan masa lalu dengan tantangan masa depan. (Red)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan