Tulungagung, yustitiamedia.com – Di ruang sidang Pengadilan Negeri Tulungagung, suasana siang itu terasa tegang namun tenang. Kasus lingkungan hidup nomor 86/Pdt.Sus-LH/2025/PN Tlg kembali digelar, menghadirkan sengketa yang tak sekadar soal hukum, tetapi juga soal nurani dan masa depan lingkungan Tulungagung. Selasa (7/10/2025).
Perkara ini mempertemukan Hariyanto, seorang aktivis lingkungan yang berafiliasi dengan Lush Green Indonesia, melawan empat pihak tergugat: Suryono Hadi Pranoto alias K-Cunk, UD K-Cunk Motor, Kepala Desa Nglampir, dan Kepala Desa Keboireng. Mereka diduga bertanggung jawab atas aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan di dua desa tersebut.
Sidang kali ini merupakan tahap kedua proses mediasi yang dipimpin oleh Hakim Mediator Eri Sutanto, S.H. Namun, proses belum berjalan mulus. Dari pihak tergugat, hanya kuasa hukum tiga tergugat pertama yang hadir. Kepala Desa Keboireng, yang berstatus tergugat IV, kembali tidak hadir tanpa alasan yang sah.
Ketidakhadiran itu menimbulkan sorotan publik. Pasalnya, jabatan kepala desa membawa tanggung jawab moral dan hukum yang besar, termasuk dalam menjalankan kewajiban administratif dan sosial. Dalam konteks hukum, hal ini bahkan bisa berkaitan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur kewajiban kepala desa untuk menjalankan tugasnya secara penuh.
Bagi pihak penggugat, absennya salah satu tergugat menjadi tanda kurangnya keseriusan dalam menghadapi persoalan besar ini. “Sangat disayangkan para tergugat ini tidak hadir, karena hal ini justru membuat proses peradilan menjadi panjang dan menunjukkan ketidaksiapan mereka menghadapi klien kami,” ungkap Irawan Sukma, S.H., kuasa hukum penggugat, dengan nada kecewa.
Senada, Hendro Blangkon, S.H., M.Kn., kuas

a hukum lainnya, menekankan bahwa perkara ini tidak hanya tentang pasal dan bukti, tapi tentang keberlanjutan hidup masyarakat Tulungagung. “Kerusakan lingkungan sangatlah fatal. Kita bicara tentang masa depan masyarakat, tentang air, tanah, dan udara yang seharusnya tetap bisa dinikmati anak cucu kita,” ujarnya penuh tekanan.
Di sisi lain, Tito (Edy Gantol) selaku kuasa hukum tergugat, menyampaikan klarifikasi bahwa ketidakhadiran salah satu kliennya bukan bentuk pengabaian. “Klien kami sudah mengajukan izin karena pada hari yang sama mendapat panggilan dari Polda Jawa Timur. Surat izin itu juga sudah kami sampaikan ke pengadilan,” jelasnya.
Meski demikian, dinamika ini membuat Hakim Mediator Eri Sutanto, S.H. memutuskan untuk menunda proses mediasi hingga 14 Oktober 2025, guna memberi kesempatan seluruh pihak hadir dan menyelesaikan pembahasan secara menyeluruh.
Kasus ini berawal dari dugaan perusakan lingkungan di wilayah Desa Nglampir dan Keboireng, yang disebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem dan berdampak langsung pada kehidupan warga sekitar. Bagi banyak aktivis, perkara ini adalah simbol perjuangan panjang, antara kepentingan ekonomi dan kelestarian alam, antara kekuasaan dan keberanian warga untuk bersuara.
Bagi Hariyanto dan rekan-rekannya, sidang ini bukan sekadar mencari keadilan di atas kertas, tetapi upaya memastikan bahwa bumi Tulungagung tidak terus kehilangan daya hidupnya. Dalam ruang sidang itu, hukum dan kepedulian lingkungan bertemu, dua sisi yang seharusnya berjalan seiring, bukan saling bertentangan. (*)
Tinggalkan Balasan